Thursday, January 24, 2013

Filsafat Pendidikan Islam (Aliran Esensialisme)

A.    Sejarah Esensialisme
Esensialisme muncul pada zaman renaisance dengan ciri-ciri utamanya  berbeda dengan progresivisme. Progresif mempunyai pandangan  bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibelitas, dinamika dan sifat-sifat yang sejenis (Ramayulis, 2010: 43). Sedangkan esensialisme menganggap bahwa dasar pijak fleksibelitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Aliran ini pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatism abad pertengahan. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan  reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik.
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa aliran esensialisme ini muncul karena kecendrungan kehidupan manusia yang hanya bersifat duniawi, ilmiah. Pluralistik dan materialistik, sehingga dengan demikian mengakibatkan pendidikan yang sangat terbuka dengan segala perubahan-perubahan,  maka mereka tidak memiliki suatu pandangan yang dijadikan suatu pedoman dengan dokrin tertentu (Muhmidayeli, 2005: 185).
Imam Barnadib (1981) menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam aliran esensialisme antara lain adalah[1]:
1.      Desiderius Erasmus
Humanis belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2.      Johann Amos Comenius
Yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah seorang yang memilki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3.      John Locke
Tokoh dari inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4.      Johann Henrich Pestalozzi
Hidup pada tahun 1746-1827. Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya.
5.      Johann Friderich Frobel (1782-1852)
Berkeyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif oleh karena itu, tugas pendidikan adalah memimpin anak didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
6.      Johann Friderich Herbert
Yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis Herbert berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang mendidik.
7.      William T. Harris
Tokoh dari Amerika Serikat hidup pada tahun 1835-1909. Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha menetapkan idealisme objektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan  terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.

B.     Pokok Pikiran Essensialisme
1.      Filsafat esensialisme merupakan perpaduan ide filsafat idealisme-objektif di satu sisi dan realisme-objektif disisi lainnya.
2.      Esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia.
3.      Menurut aliran essensialisme, pendidikan harus dibangun di atas nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil.
4.      Belajar bertujuan untuk mengisi subjek mengerti berbagai realita, nilai-nilai berbagai kebenaran baik sebagai warisan sosial maupun makrokosmis.
5.      Esensialis  memberikan perhatian bukan pada subjek belajar, tetapi lebih pada subjek kurikulum.
6.      belajar mesti didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang ketat.
C.    Pandangan  Essensialisme Mengenai Pendidikan
Tidak seperti paranialisme yang menolak progresivisme dalam keseluruhan aspek yang menjadi karakteristiknya, essensialisme hanya memberikan  penolakan dalam beberapa  aspek khusus saja, seperti pemberian  kosentrasi aktivitas pembelajaran semata-mata berpusat  pada peserta didik saja sehingga terlihat kesan pengabaian fungsionalitas sebagai pendidik yang seharusnya mengatur dan mengarahkan proses pembelajaran itu sendiri.   
Kelompok essensial memandang, bahwa pendidikan yang didasari pada nilai-nilai yang fleksibel dapat menjadikan pendidikan yang ambivalen dan tidak memiliki arah orientasi yang jelas.
Dari kutipan diatas dapat penulis simpulkan bahwa apabila suatu pendidikan bersifat terbuka dengan segala bentuk perubahan menjadikan ekssistensinya mudah goyah serta tidak mempunyai arah yang jelas. Oleh karena itu suatu pendidikan harus memilki dasar asas yang kukuh agar memberikan kejelasan dan kestabilan.
Essensialisme juga memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan perbedaan-perbedaan essensial dan non esensial dalam berbagai progam sekolah dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah. Dalam hal ini essensialis percaya bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan modifikasi, dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi manusia yang bersifat dinamis dan selalu berkembang.
Penulis sependapat  dengan pernyataan diatas karena didalam dunia pendidikan harus ada perubahan-perubahan yang dilakukan terutama pada kurikulum yang harus disesuaikan dengan kemajuan zaman yang terus berkembang dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan baru dan dalam menetapkan kurikulum harus disesuaikan dengan tingkat dan jenjang sekolah tersebut, yang diharapkan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan terkini akan mampu mencetak manusia-manusia handal yang siap menghadapi tantangan dunia luar.
Karena para essensialis meyakini bahwa manusia, alam jagad raya dan Tuhan merupakan tiga hal yang saling terkait dalam peraihan pengetahuan , maka Cominius (1592-1670 M) dalam hal ini pun mengandaikan, bahwa membina kesadaran manusia akan alam semesta dan dunianya untuk membentuk kesadaran spiritual menuju Tuhannya adalah tugas pokok pendidikan. John Locke (1632-1704 M) dalam hal ini menyebutkan, bahwa pendidikan mesti mengutamakan faktor lingkungan dalam mengupayakan  penyesuaian manusia pada hal yang natural dan supra natural. Berdasarkan inipulalah, maka esensialisme mengemukakan, bahwa sistem sekolah mesti dengan mengutamakan realita dunia dimana ia hidup dan situasi praktis, karena memang pendidikan  tidak lain adalah agar anak-anak didiknya kelak mampu hidup di dalam masyarakatnya.
Untuk merumuskan hakikat belajar yang sesungguhnya essensialisme berupaya untuk kembali pada psikologi pendidikan  tentang pola dan cara manusia dalam proses peraihan pengetahuan melalui aktivitas belajar. Berdasarkan hal ini maka para essensialis memaknai belajar sebagai melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada, seperti daya pikir, ingat dan perasaan.
Para essensialis juga percaya bahwa proses belajar adalah proses penyesuaian diri individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dalam hal ini tugas dari seorang guru adalah sebagai agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaan dalam rangka  penyesuaian dengan lingkungan tersebut. Berdasarkan konsep ini, para esensialis sangat yakin, bahwa belajar mesti didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang ketat. Hal ini disebabkan  karena proses belajar akan berlangsung baik dengan adanya dedikasi tinggi untuk meraih tujuan yang lebih jauh. Para esensialis menolak keras konsep progresivisme yang menekankan pendidikan pada inters personal.


[1] Zuhairini, 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, h.h. 25-26.

1 komentar:

Unknown said...

Terima kasih sangat bermanfaat bagi kami

Post a Comment

Search This Blog