A.
Sejarah
Esensialisme
Esensialisme
muncul pada zaman renaisance dengan ciri-ciri utamanya berbeda dengan progresivisme. Progresif
mempunyai pandangan bahwa banyak hal itu
mempunyai sifat yang serba fleksibelitas, dinamika dan sifat-sifat yang sejenis
(Ramayulis, 2010: 43). Sedangkan esensialisme menganggap bahwa dasar pijak
fleksibelitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang
berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Aliran ini pertama kali muncul sebagai
reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatism abad pertengahan. Esensialisme
didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada
keduniawian, serba ilmiah dan materialistik.
Dari penjelasan diatas dapat penulis
simpulkan bahwa aliran esensialisme ini muncul karena kecendrungan kehidupan
manusia yang hanya bersifat duniawi, ilmiah. Pluralistik dan materialistik,
sehingga dengan demikian mengakibatkan pendidikan yang sangat terbuka dengan
segala perubahan-perubahan, maka mereka
tidak memiliki suatu pandangan yang dijadikan suatu pedoman dengan dokrin
tertentu (Muhmidayeli, 2005: 185).
Imam Barnadib (1981) menyebutkan
beberapa tokoh utama yang berperan dalam aliran esensialisme antara lain adalah[1]:
1. Desiderius
Erasmus
Humanis belanda yang
hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama
yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha
agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga
bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2. Johann
Amos Comenius
Yang hidup diseputar
tahun 1592-1670, adalah seorang yang memilki pandangan realis dan dogmatis.
Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai
dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan
bertujuan.
3. John
Locke
Tokoh dari inggris yang
hidup pada tahun 1632-1704 sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya
selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4. Johann
Henrich Pestalozzi
Hidup pada tahun
1746-1827. Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu
tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan
wajarnya.
5. Johann
Friderich Frobel (1782-1852)
Berkeyakinan bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini,
sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan
Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif oleh karena itu,
tugas pendidikan adalah memimpin anak didik kearah kesadaran diri sendiri yang
murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
6. Johann
Friderich Herbert
Yang hidup pada tahun
1776-1841, sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis
Herbert berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang
dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan
dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert
sebagai pengajaran yang mendidik.
7. William
T. Harris
Tokoh dari Amerika Serikat hidup
pada tahun 1835-1909. Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha
menetapkan idealisme objektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya
adalah mengizinkan terbukanya realita
berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan
sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun
dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.
B.
Pokok
Pikiran Essensialisme
1. Filsafat
esensialisme merupakan perpaduan ide filsafat idealisme-objektif di satu sisi
dan realisme-objektif disisi lainnya.
2. Esensialisme
merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama yang
telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia.
3. Menurut
aliran essensialisme, pendidikan harus dibangun di atas nilai-nilai yang kukuh,
tetap dan stabil.
4. Belajar
bertujuan untuk mengisi subjek mengerti berbagai realita, nilai-nilai berbagai
kebenaran baik sebagai warisan sosial maupun makrokosmis.
5. Esensialis memberikan perhatian bukan pada subjek
belajar, tetapi lebih pada subjek kurikulum.
6. belajar
mesti didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang ketat.
C.
Pandangan Essensialisme Mengenai Pendidikan
Tidak
seperti paranialisme yang menolak progresivisme dalam keseluruhan aspek yang
menjadi karakteristiknya, essensialisme hanya memberikan penolakan dalam beberapa aspek khusus saja, seperti pemberian kosentrasi aktivitas pembelajaran semata-mata
berpusat pada peserta didik saja
sehingga terlihat kesan pengabaian fungsionalitas sebagai pendidik yang seharusnya
mengatur dan mengarahkan proses pembelajaran itu sendiri.
Kelompok
essensial memandang, bahwa pendidikan yang didasari pada nilai-nilai yang
fleksibel dapat menjadikan pendidikan yang ambivalen dan tidak memiliki arah
orientasi yang jelas.
Dari
kutipan diatas dapat penulis simpulkan bahwa apabila suatu pendidikan bersifat
terbuka dengan segala bentuk perubahan menjadikan ekssistensinya mudah goyah
serta tidak mempunyai arah yang jelas. Oleh karena itu suatu pendidikan harus
memilki dasar asas yang kukuh agar memberikan kejelasan dan kestabilan.
Essensialisme
juga memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang
materi-materi kurikulum, memberikan perbedaan-perbedaan essensial dan non
esensial dalam berbagai progam sekolah dan memberikan kembali pengukuhan
autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah. Dalam hal ini essensialis
percaya bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan modifikasi, dan penyempurnaan
sesuai dengan kondisi manusia yang bersifat dinamis dan selalu berkembang.
Penulis
sependapat dengan pernyataan diatas
karena didalam dunia pendidikan harus ada perubahan-perubahan yang dilakukan
terutama pada kurikulum yang harus disesuaikan dengan kemajuan zaman yang terus
berkembang dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan baru
dan dalam menetapkan kurikulum harus disesuaikan dengan tingkat dan jenjang
sekolah tersebut, yang diharapkan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
terkini akan mampu mencetak manusia-manusia handal yang siap menghadapi tantangan
dunia luar.
Karena
para essensialis meyakini bahwa manusia, alam jagad raya dan Tuhan merupakan
tiga hal yang saling terkait dalam peraihan pengetahuan , maka Cominius
(1592-1670 M) dalam hal ini pun mengandaikan, bahwa membina kesadaran manusia
akan alam semesta dan dunianya untuk membentuk kesadaran spiritual menuju
Tuhannya adalah tugas pokok pendidikan. John Locke (1632-1704 M) dalam hal ini
menyebutkan, bahwa pendidikan mesti mengutamakan faktor lingkungan dalam
mengupayakan penyesuaian manusia pada
hal yang natural dan supra natural. Berdasarkan inipulalah, maka esensialisme
mengemukakan, bahwa sistem sekolah mesti dengan mengutamakan realita dunia
dimana ia hidup dan situasi praktis, karena memang pendidikan tidak lain adalah agar anak-anak didiknya
kelak mampu hidup di dalam masyarakatnya.
Untuk
merumuskan hakikat belajar yang sesungguhnya essensialisme berupaya untuk
kembali pada psikologi pendidikan
tentang pola dan cara manusia dalam proses peraihan pengetahuan melalui
aktivitas belajar. Berdasarkan hal ini maka para essensialis memaknai belajar
sebagai melatih daya jiwa yang secara potensial sudah ada, seperti daya pikir,
ingat dan perasaan.
Para
essensialis juga percaya bahwa proses belajar adalah proses penyesuaian diri
individu dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dalam hal ini tugas
dari seorang guru adalah sebagai agen untuk memperkuat pembentukan kebiasaan
dalam rangka penyesuaian dengan
lingkungan tersebut. Berdasarkan konsep ini, para esensialis sangat yakin,
bahwa belajar mesti didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang ketat. Hal
ini disebabkan karena proses belajar
akan berlangsung baik dengan adanya dedikasi tinggi untuk meraih tujuan yang
lebih jauh. Para esensialis menolak keras konsep progresivisme yang menekankan
pendidikan pada inters personal.
1 komentar:
Terima kasih sangat bermanfaat bagi kami
Post a Comment